Jakarta, CNN Indonesia --
Bagi banyak orang dewasa, wajah mungil dan tingkah kocak anak mini kerap memunculkan rasa gemas nan susah ditahan. Ingin mencubit pipinya, mengelus rambutnya, apalagi mencium pipi alias kepalanya.
Tapi di era sekarang, perilaku nan dulu dianggap wajar sekarang mulai dipertanyakan: apakah boleh mencium anak orang lain?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Psikolog dari Tabula Rasa, Arnold Lukito, menjelaskan bahwa secara naluriah, dorongan untuk mencium alias memeluk bayi dan anak mini adalah ekspresi kasih sayang nan alami.
"Secara biologis, bayi dan anak mini memicu respons oksitosin, hormon kasih sayang pada orang dewasa. Otak kita membaca bentuk mini dan lembut itu sebagai sinyal untuk merawat," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (11/11)
Namun, menurut Arnold, meski niatnya kerap muncul dari rasa sayang, bukan berfaedah perilaku tersebut selalu layak dilakukan. Hal nan membedakan kasih sayang dan perilaku tak layak adalah konteks sosial, serta consent dan kenyamanan anak.
Jika dilakukan oleh orang dekat nan dipercaya, misalnya family alias sahabat di tempat terbuka dengan gestur lembut, ciuman bisa dimaknai sebagai corak kehangatan. Tapi jika dilakukan oleh orang asing, mendadak, alias tanpa izin, tubuh anak maupun orang sekitar bisa memunculkan 'alarm' ketidaknyamanan.
"Dan sikap itu merupakan sistem protektif nan sehat," kata Arnold.
Evolusi moral, dari kasih sayang ke kesadaran batas
Dalam masyarakat modern, kesadaran bakal boundaries (batas pribadi) semakin tinggi. Menurut Arnold, sekarang kita mengalami perkembangan moral kolektif, pemahaman bahwa cinta tanpa izin bisa terasa invasif.
Rasa risih ketika memandang orang mencium anak mini nan bukan anaknya pun bukan sekadar reaksi emosional, melainkan corak sistem sosial protektif.
"Dalam ilmu jiwa moral, ini disebut disgust response, reaksi alami terhadap perilaku nan dianggap melanggar norma tubuh," jelasnya.
Reaksi ini membikin masyarakat lebih waspada terhadap kemungkinan grooming alias perilaku predator terselubung.
Arnold juga menyinggung konsep embodied ethics, ialah etika nan mempertimbangkan tubuh dan consent.
"Perilaku penuh kasih pun kudu tetap menghormati pemisah tubuh dan kenyamanan anak," tegasnya.
Arnold menekankan bahwa mencium anak orang lain tidak selalu salah, tetapi kudu dilakukan dengan penuh kesadaran. Dia memberi beberapa pedoman sederhana, yakni:
• Jangan mencium anak nan bukan anak sendiri tanpa izin orang tuanya.
• Amati reaksi anak, jika mundur, tegang, alias tak bersuara kaku, segera hentikan.
• Gunakan ekspresi kasih sayang nan kondusif dan netral, seperti tersenyum, memberi tos, alias mengelus kepala dengan izin.
"Cinta sejati justru ditunjukkan lewat rasa hormat terhadap pemisah dan kenyamanan anak," kata Arnold.
Lantas, apa nan kudu dilakukan saat memandang orang lain mencium anak?
Arnold menyarankan untuk tidak langsung bereaksi emosional. Menurutnya, amati terlebih dulu konteks dan reaksi anak.
"Jika anak tampak nyaman dan pelaku jelas hubungannya, cukup pantau. Tapi jika anak terlihat kaku alias canggung, itu bisa jadi tanda bahaya," kata dia.
Langkah selanjutnya adalah memastikan rasa kondusif anak tanpa menciptakan stigma. Bisa dengan mendekat, menyapa anak dengan lembut, alias memberi sinyal sosial lembut kepada pelaku, misalnya dengan berbicara ringan, 'Eh, jangan dicium dulu ya, takut anaknya belum nyaman'.
"Jika situasi tampak tak kondusif dan pelaku tetap memaksa, barulah intervensi dilakukan dengan tenang dan melibatkan pihak nan berwenang," kata dia.
(tis/tis)
[Gambas:Video CNN]
1 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·