Jakarta, CNN Indonesia --
Upaya pemerintah dalam memberantas kasus gambling online (judol) di Indonesia hingga saat ini nampaknya tetap menemui jalan buntu.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah. Mulai dari memblokir situs hingga mencoret penerima support sosial (bansos) nan terindikasi bermain judol.
Namun, nyatanya kecanduan masyarakat bermain judol tetap belum bisa dihentikan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat total transaksi gambling daring alias online (judol) sejak Januari hingga Oktober 2025 mencapai Rp155 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebut nomor itu sudah jauh lebih rendah hingga 56 persen dari transaksi gambling online nan terjadi pada 2024 sebanyak Rp359 triliun.
"Kalau dibandingkan tahun lalu, 12 (bulan) penuh itu Rp359 Triliun. Sekarang sudah nyaris bulan ke-12, kita sukses tekan sampai Rp155 triliun," ujarnya dalam konvensi pers, Jakarta, Selasa (4/11).
Lantas, kenapa upaya pemberantasan judol ini belum membuahkan hasil?
Pakar norma pidana dari BINUS, Ahmad Sofian mengatakan judol merupakan upaya kejahatan nan terstruktur, sistematis dan terorganisir.
"Sehingga kejahatan ini tidak mudah diberantas, kejahatan ini juga dapat beking nan kuat, lantaran itu upaya illegal ini enggak mudah diberantas," kata Sofian kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/11) malam.
Selain itu, judol juga turut menggunakan teknologi info nan bisa dikendalikan dari luar Indonesia alias dari negara lain. Alhasil, proses penegakan norma terhadap para pelaku pun terkendala secara yurisdiksi.
Sofian menyebut judol berbeda dengan kejahatan lain seperti teroris, perdagangan orang maupun korupsi nan pada umumnya dianggap sebagai kejahatan dalam sistem norma di beragam negara.
Di Indonesia, gambling maupun judol dianggap sebagai sebuah kejahatan, sementara di banyak negara telah dianggap sebagai sebuah aktivitas legal.
"Karena di Indonesia gambling online adalah kejahatan alias aktivitas ilegal, makanya duit dari Indonesia mengalir ke luar Indonesia, ke negara-negara nan aktivitas gambling online bukan sebagai kejahatan," tutur dia.
"Kendala nan paling besar adalah soal yurisdiksi nan berada di luar sistem norma Indonesia. Indonesia hanya bisa melakukan blocking dan larangan platform ini beraksi di Indonesia," sambungnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut penegakan norma dalam konteks pemberantasan judol tidak bakal efektif jika tidak dikaitkan dengan tindak pidana pencucian duit alias TPPU.
Terkait perihal tersebut, Sofian menyatakan penerapan UU TPPU juga tidak bakal efektif dalam upaya pemberantasan judol. Sebab, mereka nan terlibat berasal dari beragam latar belakang, lapisan umur dan dilakukan dari luar Indonesia.
"Sehingga jikalau menggunakan TPPU menjadi tidak efektif juga, tindak pidana asal judinya ada tersebar di seluruh wilayah Indonesia, apalagi ada pemain judol Indonesia nan pergi ke Hong Kong, Singapore, Tiongkok, Makau, Malaysia dan Taiwan lantaran mudah dan legal," ucap dia.
Sementara itu, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha menyebut kesulitan pemerintah dalam memberantas judol lantaran pendekatan nan dilakukan tetap berkarakter reaktif dan teknis semata, bukan sistemik dan intelijen.
Kata dia, upaya nan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) selama ini tetap konsentrasi pada pemblokiran situs. Padahal langkah ini terbukti tidak efektif lantaran hanya menyasar pada lapisan permukaan, ialah landing page situs judi.
Alhasil, para pelaku dengan mudah membikin kembali situs baru dengan domain dan alamat IP berbeda, sementara server inti dari permainan gambling nan menjadi pusat kendali transaksi dan info pemain tetap aktif di luar negeri.
"Seharusnya nan diblokir bukan hanya domain tampilan, melainkan game server tempat aktivitas gambling berlangsung, termasuk jalur komunikasi info antara server dan pengguna pengguna di Indonesia. Pendekatan berbasis domain blocking seperti nan sekarang dilakukan seumpama menutup pintu depan, sementara jendela dan genting dibiarkan terbuka lebar," tutur dia.
Pratama menyebut hambatan utama memerangi judol ini bukan hanya soal keterbatasan teknologi. Tetapi juga kelemahan norma dan koordinasi lintas sektor.
Menurutnya izin nan ada seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) hingga peraturan mengenai penyelenggaraan sistem elektronik, belum sepenuhnya terintegrasi dalam kerangka penegakan norma siber nan adaptif.
Apalagi, banyak platform judol beraksi menggunakan skema lintas negara, memanfaatkan server luar negeri, payment gateway anonim serta sistem crypto wallet nan susah dilacak oleh abdi negara nasional.
"Penegakan norma sering kali terbentur masalah yurisdiksi dan keterbatasan perjanjian ekstradisi. Selain itu, adanya indikasi keterlibatan pihak-pihak dalam negeri nan berkedudukan sebagai operator, afiliasi, alias penyalur biaya membikin rantai kejahatan ini semakin kompleks," ucap Pratama.
Berbeda dengan Sofian, Pratama beranggapan penerapan UU TPPU dalam pemberantasan judol bisa menjadi sebuah langkah strategis.
Pratama menyebut pendekatan berbasis follow the money memungkinkan penegak norma menelusuri aliran biaya nan dihasilkan dari aktivitas terlarangan ini, baik di dalam maupun luar negeri.
"Dengan Pasal TPPU, abdi negara dapat menjerat bukan hanya pemain dan operator, tetapi juga pihak-pihak nan menikmati hasil kejahatan, termasuk oknum penyedia jasa finansial nan memfasilitasi transaksi tersebut," tuturnya.
"Strategi ini juga berfaedah untuk menimbulkan pengaruh jera, lantaran menghantam jantung finansial jaringan gambling online. Namun, efektivitasnya bakal sangat tergantung pada keahlian sinkronisasi info lintas lembaga, termasuk PPATK, Kominfo, OJK, dan abdi negara penegak hukum," sambung dia.
Prioritas Pemerintah
Lebih lanjut, Pratama mengatakan Presiden Prabowo Subianto mesti menjadikan upaya pemberantasan judol sebagai prioritas keamanan digital nasional.
Menurutnya, langkah nan dibutuhkan bukan sekadar menambah intensitas pemblokiran, tetapi membangun ekosistem pemberantasan berbasis intelijen siber nan terintegrasi.
Kemudian, juga perlu diterapkan pendekatan cyber offensive defense, di mana negara dapat melakukan tindakan aktif terhadap server gambling nan beraksi secara terlarangan dan berpotensi merugikan masyarakat.
Selain penguatan instrumen norma dan teknologi, kata Pratama, kebijakan pemerintah juga perlu menyentuh dimensi sosial dan edukatif.
"Fenomena gambling online tidak semata-mata muncul lantaran aspek ekonomi, tetapi juga lantaran lemahnya literasi digital dan kontrol sosial. ASN, pelajar, dan masyarakat umum menjadi korban lantaran memandang gambling online sebagai jalan pintas untuk mendapatkan untung sigap di tengah tekanan ekonomi," ucap dia.
Sementara itu, Sofian beranggapan sejauh ini belum ada jalan keluar nan efektif untuk memerangi aktivitas judol di Indonesia. Sebab, saat ini sebagian penduduk sudah menjadikan judol sebagai aktivitas rutin.
"Kalau mau dilokalisir saja, diregulasi dan bukan dikriminalisasi, ada pemisah batas gambling nan boleh dan ada pemisah batas gambling nan sebagai tindak kriminal," katanya.
(dis/isn)
[Gambas:Video CNN]
3 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·