Jakarta, CNN Indonesia --
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri menetapkan Halim Kalla selaku Presiden Direktur PT BRN sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar periode 2008-2018.
Halim Kalla adalah adik dari Wapres ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK). Selain Halim Kalla, polisi juga menetapkan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar (FM) sebagai tersangka.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menyebut total ada empat orang tersangka nan ditetapkan interogator dalam proses gelar perkara, pada Jumat (3/10) kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tersangka FM (Fahmi Mochtar) sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba," ujarnya dalam konvensi pers, Senin (6/10).
Dalam kesempatan nan sama, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri Brigjen Totok Suharyanto menjelaskan proyek pembangunan PLTU Kalbar ini terdapat penyalahgunaan kewenangan hingga berujung mangkrak sejak 2016.
Totok menjelaskan meskipun telah diberikan perpanjangan waktu melalui amandemen perjanjian sebanyak 10 kali sampai dengan 2018, proyek PLTU itu tetap tidak sukses diselesaikan dan bisa dimanfaatkan.
Ia mengatakan kasus ini bermulai ketika PLN menggelar lelang pembangunan PLTU dengan sumber pembiayaan angsuran komersial.
"Akan tetapi sebelum penyelenggaraan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar," jelasnya.
Selanjutnya dalam penyelenggaraan lelang, panitia pengadaan PLN meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC meskipun tidak memenuhi syarat manajemen dan teknis.
Selain itu, interogator juga menemukan indikasi bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO nan dibentuk dan dikepalai PT BRN. Setelahnya pada 2009, KSO BRN mengalihkan pekerjaannya kepada PT PI tepat sebelum melaksanakan tanda tangan kontrak.
"Termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian hadiah (fee) kepada pihak PT BRN," tuturnya.
"Pada saat dilaksanakan tanda tangan perjanjian pada tanggal 11 Juni 2009, PLN belum mendapat pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan," imbuhnya.
Totok menjelaskan hingga pemisah berakhirnya perjanjian pada 28 Februari 2012, KSO BRN dan PT PI baru mengerjakan total 57 persen proyek. Sementara setelah dilakukan amandemen perjanjian hingga 31 Desember 2018, proyek tetap belum diselesaikan alias baru mencapai 85,56 persen.
Ia menyebut KSO BRN dan PT PI berdasar proyek itu tidak bisa diselesaikan dengan dalih finansial nan tidak mencukupi. Akan tetapi, kata dia, ditemukan adanya aliran
transaksi finansial dari rekening KSO BRN nan berasal dari pembayaran proyek kepada para tersangka.
"Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323,19 miliar untuk pekerjaan bangunan sipil dan sebesar USD62,4 juta untuk pekerjaan Mechanical Electrical," tuturnya.
Atas perbuatannya, Cahyo mengatakan pembangunan PLTU 1 Kalbar belum juga selesai dan tidak dapat dimanfaatkan oleh PLN. Sebagian besar kondisi gedung dan peralatan juga terbengkalai, rusak dan berkarat.
"Total kerugian finansial negaranya dengan kurs nan sekarang Rp1,35 triliun," jelasnya.
(tfq/gil)
[Gambas:Video CNN]